A. Pendekatan Pembelajaran Matematika
Ruseffendi (1988: 240), mengemukakan bahwa
pendekatan pembelajaran adalah suatu jalan, cara atau kebijakan yang ditempuh
guru atau siswa dalam pencapaian tujuan pembelajaran dilihat dari sudut
bagaimana proses atau materi pembelajaran itu, umum atau khusus dikelola.
Sedangkan Suherman, E (1994: 220) menyatakan bahwa pendekatan pembelajaran
merupakan suatu konsep atau prosedur yang digunakan dalam membahas suatu bahan
pelajaran untuk mencapai tujuan pembelajaran. Sementara itu Soedjadi (1999:
102), membedakan pendekatan pembelajaran matematika menjadi dua, sebagai
berikut.
1)
Pendekatan materi (material approach),
yaitu proses penjelasan topik matematika tertentu menggunakan materi matematika
lain.
2)
Pendekatan pembelajaran (teaching
approach), yaitu proses penyampaian atau penyajian topik matematika
tertentu agar mempermudah siswa memahaminya.
Pendekatan yang dimaksud dalam tulisan ini adalah pendekatan pembelajaran,
karena penelitian ini menekankan pada cara penyampaian materi matematika kepada
siswa. Trefers (dalam Hadi, 2001: 3), mengklasifikasikan pendekatan
pembelajaran matematika berdasarkan pada penekanan penggunaan komponen proses
matematisasinya, yakni matematisasi horisontal dan matematisasi vertikal, ke
dalam empat macam pendekatan, yaitu: mechanistic,
structuralistic, empiristic dan
realistic. Dalam proses matematisasi horisontal, dengan pengetahuan atau
pengalaman yang dimilikinya, siswa dapat mengorganisasikan dan memecahkan
masalah nyata dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain proses matematisasi
horisontal bergerak dari dunia nyata ke dunia simbol.
Perbedaan dari keempat pendekatan pembelajaran dalam pendidikan matematika ditekankan sejauh mana pendekatan pembelajaran tersebut menggunakan komponen matematisasi horisontal dan matematisasai vertikal ditunjukkan pada tabel berikut. Tanda “+” berarti lebih banyak menekankan pada matematisasi (vertikal/horisontal), sedangkan tanda “_“ berarti kurang/sedikit menekankan pada matematisasi (vertikal/horisontal ).
Tabel
2.1. Perbedaan Empat Pendekatan Pembelajaran Matematika Berdasarkan Intensitas
Pematematikaannya
Horizontal math.
|
Vertical math.
|
|
Empiristic
|
+
|
_
|
Realistic
|
+
|
+
|
Structuralistic
|
_
|
+
|
Mechanistic
|
_
|
_
|
De Lange (1987 : 101)
Berdasarkan Tabel 2.1 di atas,
perbedaan dari keempat pendekatan pembelajaran matematika berdasarkan
intensitas pematematikaan (proses matematisasi) dapat dijelaskan sebagai
berikut:
1)
Pendekatan Empiristic (empiristik), lebih
menekankan pada pematematikaan horisontal dan mengabaikan pematematikaan
vertikal.
2)
Pendekatan Realistic (realistik), memberikan perhatian yang seimbang antara pematematikaan
horisontal dan pematematikaan vertikal dengan penyampaian secara terpadu
3)
Pendekatan Structuralistic (strukturalistik), lebih menekankan pada pematematikaan vertikal dan cenderung
mengabaikan pematematikaan horisontal.
4)
Pendekatan Structuralistic (mekanistik), lebih memusatkan pada latihan (drill) dan hafalan, sedang proses pematematikaannya tidak nampak.
Pada penelitian ini digunakan pendekatan pembelajaran
yang memberikan perhatian seimbang antara pematematikaan horisontal dan
pematematikaan vertikal yaitu pendekatan realistik. Pendekatan relistik
merupakan suatu cara sistematis yang dilakukan oleh guru untuk menyampaikan
bahan/materi pelajaran matematika pada topik uang dalam perdagangan agar dapat
mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan.
B. Pendekatan Pembelajaran Matematika
Realistik
Kata realistik mengacu pada pendekatan dalam pendidikan
matematika yang telah dikembangkan di Nederlands (Belanda) selama kurang
lebih 33 tahun, yang dimulai sekitar tahun 1970. Pendekatan ini mengacu pada
pendapat Freudental (dalam Gravemeijer, 1994), yang menyatakan bahwa
matematika harus dikaitkan dengan realita dan matematika merupakan suatu
aktivitas manusia. Ini berarti matematika harus dekat dengan siswa dan
matematika harus dikaitkan dengan situasi kehidupan sehari-hari. Matematika
sebagai aktivitas manusia sehingga siswa harus diberi kesempatan untuk belajar
melakukan aktivitas matematisasi pada topik-topik dalam matematika. Pendekatan
semacam ini dikatakan Realistic Mathematic Education
(RME).
RME mulai diperkenalkan di Indonesia sejak april 1998 oleh Jan de
Lange (Zulkardi, 2002). RME di Indonesia dikenal dengan istilah
Pendidikan Matematika Realistik yang secara operasional disebut Pembelajaran
Matematika Realistik (PMR). Soedjadi (2001a: 2) menyatakan bahwa
pembelajaran matematika dengan pendekatan realistik pada dasarnya adalah
pemanfaatan realita atau lingkungan yang dipahami peserta didik untuk
memperlancar proses pembelajaran matematika sehingga dapat mencapai tujuan pendidikan
matematika secara lebih baik dari pada masa yang lalu. Soedjadi (2001b: 3)
lebih lanjut menjelaskan yang dimaksud realita adalah hal-hal yang nyata atau
konkret yang dapat diamati atau dipahami peserta didik lewat membayangkan,
sedangkan yang dimaksud dengan lingkungan adalah lingkungan tempat peserta
didik berada, baik lingkungan sekolah, keluarga maupun masyarakat yang dapat
dipahami peserta didik.
C.
Prinsip Utama PMR
Gravemeijer (dalam Fauzan, 2001: 4)
mengemukakan tiga prinsip kunci PMR sebagai berikut.
- Guided Reinvention/Progressive
Mathematizing (menemukan kembali dengan bimbingan/matematisasi
progressif)
Melalui
topik-topik matematika yang disajikan siswa harus diberi kesempatan untuk
mengalami proses yang sama dengan proses yang dilalui oleh para pakar
matematika ketika menemukan konsep-konsep matematika. Hal ini dilakukan dengan
cara memberikan soal-soal kontekstual yang mempunyai berbagai kemungkinan
solusi, dilanjutkan dengan mematematisasi prosedur pemecahan serta perancangan
rute belajar sedemikian rupa sehingga siswa menemukan sendiri konsep-konsep
atau hasil.
- Didactical Phenomenologi (fenomena
didaktik)
Topik-topik
matematika yang diajarkan berasal dari fenomena sehari-hari (masalah
kontekstual). Topik-topik ini dipilih dengan pertimbangan: (1) aplikasinya, (2)
kontribusinya untuk perkembangan matematika lanjut. Treffer (dalam Armanto,
2001: 3) menyatakan bahwa masalah kontekstual dalam PMR berfungsi untuk:
a.
pembentukan konsep (untuk membantu siswa menggunakan konsep matematika),
b.
pembentukan model (untuk membentuk model dasar matematika dalam mendukung pola
pikir bermatematika),
c.
pengaplikasian (untuk memanfaatkan keadaan nyata sebagai sumber aplikasi),
d.
latihan (untuk melatih kemampuan khusus siswa dalam situasi nyata)
3. Self-developed Models (model yang
dibangun sendiri oleh siswa)
Siswa
mengembangkan model sendiri sewaktu memecahkan soal-soal kontekstual. Pada
awalnya siswa akan menggunakan model pemecahan informal (model of). Setelah terjadi interaksi dan
diskusi di kelas, salah satu pemecahan yang dikemukakan siswa akan berkembang
menjadi model yang formal (model for).
D.
Karakteristik PMR
Lima
karakteristik PMR menurut Soedjadi (dalam Fauzi, 2002: 19) adalah sebagai
berikut.
1.
Menggunakan masalah kontekstual (the use
of context)
Pembelajaran diawali dengan menggunakan masalah kontekstual (dunia
nyata), tidak dimulai dari sistem formal. Masalah kontekstual yang diangkat
sebagai topik awal pembelajaran harus merupakan masalah sederhana yang
‘dikenal’ oleh siswa.
2.
Menggunakan model (use models, bridging
by vertical instruments)
Istilah model berkaitan dengan model situasi dan model
matematika yang dikembangkan sendiri oleh siswa, sebagai jembatan antara level
pemahaman yang satu ke level pemahaman yang lain dengan menggunakan
instrumen-instrumen vertikal seperti model-model, skema-skema, diagram-diagram,
simbol-simbol dan sebagainya.
3.
Menggunakan kontribusi siswa (students
contribution)
Kontribusi yang besar pada proses pembelajaran diharapkan
datang dari siswa, artinya semua pikiran (konstruksi dan produksi) siswa
diperhatikan.
4.
Interaktivitas (interactivity)
Mengoptimalkan
proses pembelajaran melalui interaksi siswa dengan siswa, siswa dengan guru dan
siswa dengan sarana dan prasarana merupakan hal yang penting dalam pembelajaran
matematika realistik, sampai proses konstruksi yang dilakukan siswa dengan
siswa, siswa dengan guru diperoleh sehingga interaksi tersebut bermanfaat.
5. Terintegrasi
dengan topik lainnya (intertwining)
Struktur dan konsep matematika saling berkaitan, oleh karena
itu keterkaitan dan keterintegrasian antar topik (unit pelajaran) harus
dieksplorasi untuk mendukung terjadinya proses pembelajaran yang lebih bermakna
E. Kelebihan PMR
Menurut Suwarsono
(2001), terdapat beberapa kelebihan dari PMR antara lain,
1.
PMR memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa tentang
keterkaitan antara matematika dengan kehidupan sehari-hari dan kegunaan
matematika pada umumnya bagi manusia.
2.
PMR memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa bahwa
matematika adalah suatu bidang kajian yang dikonstruksi dan dikembangkan
sendiri oleh siswa.
3.
PMR memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa bahwa cara
penyelesaian suatu soal atau masalah tidak harus tunggal dan tidak harus
sama antara orang yang satu dengan orang yang lain. Setiap orang dapat
menemukan atau menggunakan cara sendiri, asalkan orang itu bersungguh-sumgguh
dalam mengerjakan soal atau masalah tersebut. Dengan membandingkan cara
penyelesaian yang satu dengan yang lain akan dapat diperoleh cara
penyelesaian yang paling tepat.
4.
PMR memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa bahwa dalam
mempelajari matematika, proses pembelajaran merupakan sesuatu yang utama, dan
untuk mempelajari matematika orang harus menjalani proses itu dan berusaha
untuk menemukan sendiri konsep-konsep matematika, dengan bantuan pihak lain
yang sudah lebih tahu (guru). Tanpa kemauan untuk menjalami sendiri
proses tersebut, pembelajaran yang bermakna tidak akan terjadi.
F.
Kerumitan yang Terkait dengan Upaya Implementasi PMR di Dalam Kelas
Berikut ini adalah beberapa
kerumitan dalam upaya implementasi PMR di lapangan menurut Suwarsosno (2001:
8).
1.
Pemahaman tentang PMR dan upaya mengimplementasi PMR membutuhkan perubahan
paradigma, yaitu perubahan pandangan yang sangat mendasar mengenai berbagai hal
misalnya mengenai siswa, guru, peranan konteks, peranan alat peraga dan
lain-lain. Di dalam PMR siswa tidak dipandang lagi sebagai pihak yang
mempelajari segala sesuatu yang sudah jadi tetapi justru dipandang sebagai
pihak yang aktif mengkonstruksi konsep-konsep dan materi-materi matematika.
Guru tidak lagi sebagai pengajar tetapi lebih sebagai pendamping atau guide bagi siswa. Perubahan itu mudah
diucapkan tetapi tidak mudah untuk dipraktekkan. Peranan masalah kontekstual
tidak sekedar dipandang sebagai wadah untuk menerangkan aplikasi dari
matematika tetapi justru digunakan sebagai titik tolak untuk mengkonstruksi
konsep-konsep matematika itu sendiri. Alat peraga tidak terutama
dipandang sebagai sesuatu yang mengkonkretkan konsep-konsep matematika yang
sudah ada dan bersifat abstrak, tetapi dipakai sebagai alat untuk membantu
proses berpikir siswa dalam membangun konsep-konsep mateatika tersebut.
2.
Pencarian soal-soal kontekstual yang memenuhi syarat yang dituntut oleh PMR
tidak selalu mudah untuk setiap topik matematika yang perlu dipelajari siswa,
terlebih-lebih karena soal tersebut masing-masing harus bisa diselesaikan
dengan bermacam-macam cara.
3.
Upaya mendorong siswa agar bisa menemukan berbagai cara untuk menyelesaikan
tiap-tiap soal juga merupakan tantangan tersendiri.
4.
Proses pengembangan kemampuan berpikir siswa, dengan melalui soal-soal
kontektual, proses matematisasi horisontal dan proses matematisasi vertikal
juga bukan merupakan sesuatu yang sederhana, karena proses dan mekanisme
berpikir siswa harus diikuti dengan cermat, agar guru bisa membantu siswa dalam
melakukan penemuan kembali terhadap konsep-konsep matematika tertentu.
5.
Pemilihan alat-alat peraga harus cermat agar bisa membantu proses berpikir
siswa sesuai dengan tuntutan PMR.
6.
Kepadatan materi pembelajaran dalam kurikulum perlu dikurangi secara
substansial, agar proses pembelajaran siswa bisa berlangsung sesuai dengan
prinsip-prinsip PMR.
Menurut peneliti masih ada lagi beberapa kerumitan yang terkait dengan
implementasi PMR di kelas, yaitu (1) untuk kelas dengan jumlah siswa yang cukup
banyak dan belum terbiasa untuk berpikir mandiri dan berinteraksi dengan siswa
lain maka akan memerlukan waktu yang cukup banyak dalam
berinteraksi/berdiskusi, (2) siswa yang mempunyai kemampuan rendah memerlukan
waktu cukup lama dalam menyelesaikan masalah secara individu, sedangkan siswa
yang pandai tidak sabar untuk menunggu teman yang belum selesai
G.
Langkah-langkah Pembelajaran dengan Pendekatan PMR
Di dalam PMR siswa diberi kesempatan untuk menemukan
sendiri konsep matematika dengan menyelesaikan berbagai masalah/soal
kontekstual. Soal kontekstual ini mengarahkan siswa membentuk konsep, menyususn
model, menerapkan konsep yang telah diketahui, dan menyelesaikan berdasarkan kaidah
matematika yang berlaku.
Dalam PMR aktifitas dalam pembelajaran berlangsung secara
progresif. Treffers dan Goffree (dalam Armanto, 2001: 3) menyatakan bahwa
proses bermatematika secara progresif dapat dibagi atas dua komponen, yaitu
bermatematika secara horizontal dan vertikal. Dalam bermatematika secara
horisontal, siswa mengidentifikasi bahwa soal kontekstual harus ditransfer ke
dalam soal bentuk matematika untuk lebih dipahami. Melalui perumusan dan
pemvisualisasian, siswa mencoba membangun model dari (model of) situasi nyata. Model tersebut dapat
berupa model formal maupun model tidak formal. Kemudian siswa menyusun model
matematika untuk (model for)
menyelesaikan hingga siswa mendapatkan pengetahuan formal matematika. Dalam
menyelesaikan bentuk matematika formal dari soal kontekstual tersebut digunakan
konsep, operasi atau prosedur matematika yang berlaku dan dipahami siswa. Dalam
proses ini siswa bermatematika secara vertikal, dilanjukan dengan dengan
diskusi dan interaksi yang interaktif antara siswa dengan siswa maupun
siswa dengan guru. Di dalam PMR siswa belajar mandiri juga berkelompok untuk
menentukan langkah dan strategi penyelesaian masalah kontekstual. Strategi ini
dikembangkan dan diciptakan oleh siswa sendiri dalam bentuk matematika informal
(dapat berupa diagram, gambar, simbol dan lainnya) dan juga matematika
formal seperti konsep dan algoritma yang telah mereka pelajari sebelumnya. Guru
hanya mengantarkan dan membantu mereka memfasilitasi dan menjadi jembatan dalam
mengantarkan bentuk matematika informal yang diperoleh menjadi matematika
formal yang standar.
Berdasar uraian tersebut maka langkah-langkah dalam
pembelajaran kosep dasar matematika yang mengacu pada PMR adalah sebagai
berikut.
1)
Langkah 1, memahami masalah kontektual
Guru memberikan masalah kontekstual
(masalah dalam kehidupan sehari-hari) dan meminta siswa untuk memahami
masalah tersebut. Langkah ini mengacu pada karakteristik pertama PMR,
yaitu menggunakan masalah kontekstual sebagai starting point dalam pembelajaran.
2)
Langkah 2, menjelaskan masalah kontektual.
Setelah siswa memahami masalah kontekstual yang diberikan guru, pada langkah
ini siswa diberi kesempatan untuk mendiskripsikan masalah kontekstual tersebut
kemudian mengembangkan atau menciptakan suatu strategi untuk menyelesaikan
masalah, dalam bentuk matematika informal (dapat berupa diagram, gambar,
simbol dan lainnya) atau juga matematika formal seperti konsep dan
algoritma yang telah mereka pelajari sebelumnya. Langkah ini mengacu pada
karakteristik keempat dari PMR, yaitu adanya interaksi antara siswa dengan
guru sebagai pembimbing.
3)
Langkah 3, menyelesaikan masalah kontektual.
Siswa secara individu menyelesaikan masalah kontektual
dengan cara mereka sendiri. Cara pemecahan dan jawaban berbeda lebih
diutamakan. Prinsip pendidikan matematika relistik yang muncul dalam langkah
ini adalah prinsip ketiga yaitu self
developed models. Sedangkan karakteristik dari PMR yang muncul pada langkah
ini adalah karakteristik kedua yaitu menggunakan model.
4)
Langkah 4, membandingkan dan mendiskusikan jawaban.
Guru
menyediakan waktu dan kesempatan kepada siswa untuk membandingkan atau
mendiskusikan jawaban secara berkelompok dan selanjutnya memeriksa atau
memperbaiki dengan mendiskusikan di dalam kelas. Langkah ini akan melatih siswa
untuk mengeluarkan ide dan berinteraksi antar siswa dan juga siswa dengan guru
sebagai pembimbing. Karakteristik dari PMR yang muncul pada langkah ini adalah
karakteristik ketiga dan keempat, yaitu menggunakan kontribusi siswa dan
interaksi antara siswa yang satu dengan yang lain.
5)
Langkah 5, menyimpulkan
Guru
mengarahkan siswa untuk menarik kesimpulan suatu konsep atau prosedur.
Karakteristik dari pendidikan matematika realistik yang muncul pada langkah ini
adalah karakteristik keempat, yaitu adanya interaksi antara siswa dengan guru
sebagai pembimbing.
Beberapa teori
belajar matematika yang berhubungan dengan RME dapat dipakai untuk
memantapkan proses pembelajaran matematika menggunakan RME.
Posting Komentar