M0del Pembelajaran Penemuan Terbimbing
A. Pengertian Model Penemuan Terbimbing
Dalam buku “Konsep Strategi
Pembelajaran” (karangan Dr. Nanang
hanafiah, M.M.Pd. dan Drs. Cucu
Suhana, M.M.Pd. hal 77) Model pembelajaran penemuan terbimbing (Discovery Learning) merupakan suatu rangkaian
kegiatan pembelajaran yang melibatkan secara maksimal seluruh kemampuan peserta
didik untuk mencari, meneliti dan menyelidiki secara sistematis, kritis, dan
logis sehingga mereka dapat menemukan ssendiri pengetahuan, sikap, wawasan dan
keterampilan sebagai wujud adanya perubahan pada dirinya sendiri.
Menurut Sund dalam buku
“Strategi Belajar mengajar” (karangan Dra.
Roestiyah N.K. hal 20) Model pembelajran penemuan terbimbing (Discovery learning) adalah proses mental
dimana siswa mampu mengasimilasikan sesuatu konsep atau prinsip. Yang dimaksud
dengan proses mental antara lain ialah : mengamati, mencerna, mengerti,
menggolong-golongkan, membuat dugaan, menjelaskan, mengukur, membuat kesimpulan
dan sebgainya. Suatu konsep misalnya segitiga, persegi, persegi panjang, kubus,
balok dan sebagainya. Sedangkan yang dimaksud dengan prinsip antara lain ialah
: air apabila dipanaskan akan mendidih. Dalam teknik ini siswa dibiarkan untuk
menemukan sendiri atau mengalami proses mental itu sendiri, guru hanya sebagai
fasilitator dan membimbing apabila diperlukan atau apabila ada yang
dipertanyakan.
Menurut Jerome Bruner (Cooney, Davis:1975,138), penemuan adalah suatu
proses, suatu jalan/cara dalam mendekati permasalahan bukannya suatu produk
atau item pengetahuan tertentu. Proses penemuan dapat menjadi kemampuan umum
melalui latihan pemecahan masalah dan praktek membentuk dan menguji hipotesis. Di
dalam pandangan Bruner, belajar dengan penemuan adalah belajar untuk menemukan,
dimana seorang siswa dihadapkan dengan suatu masalah atau situasi yang
tampaknya ganjil sehingga siswa dapat mencari jalan pemecahannya sendiri. Dalam
kegiatan pembelajarannya siswa diarahkan untuk menemukan sesuatu, merumuskan
suatu hipotesa, atau menarik suatu kesimpulan sendiri. Kadang-kadang model
penemuan ini memerlukan waktu yang lebih lama pada kelas-kelas tertentu. Jelas
bahwa model penemuan ini kurang tepat untuk siswa sekolah dasar maupun lanjutan
apabila tidak dengan bimbingan guru, karena materi matematika yang ada dalam
kurikulum tidak banyak yang dapat dipelajari karena kekurangan waktu bahkan
siswa cenderung tergesa-gesa menarik kesimpulan dan tidak semua siswa dapat
menemukan sendiri.
Dalam
buku “Strategi pembelajaran Matematika Kontemporer” (yang disusun oleh Drs. H. Erman suherman Ar, M.Pd. dkk.
hal 212) Model pembelajaran penemuan terbimbing (Discovery Learning) merupakan penemuan yang dilakukan oleh peserta
didik itu sendiri sesuatu hal yang baru padai dirinya sendiri walaupun sudah
diketahui oleh orang banyak. Hal-hal yang baru tersebut dapat berupa konsep,
teorema, rumus, pola, aturan, dan sejenisnya, untuk dapat menemukan mereka
harus melakukan terkaan, terkaan, dugaan, coba-coba, dan usaha lainnya dengan
menggunakan pengetahuan siapnya melalui cara induksi, deduksi, observasi dan
ekstrapolasi.
Metode
penemuan yang dipandu oleh guru ini pertama dikenalkan oleh Plato dalam suatu
dialog antara Socrates dan seorang anak, maka sering disebut juga dengan metoda
Socratic (Cooney, Davis:1975, 136). Metode ini melibatkan suatu
dialog/interaksi antara siswa dan guru di mana siswa mencari kesimpulan yang
diinginkan melalui suatu urutan pertanyaan yang diatur oleh guru. Salah satu
buku yang pertama menggunakan teknik penemuan terbimbing adalah tentang aritmetika
oleh Warren Colburn yang pelajaran pertamanya berjudul: Intellectual
Arithmetic upon the Inductive Method of Instruction, diterbitkan
pada tahun 1821, yang isinya menekankan penggunaan suatu urutan pertanyaan
dalam mengembangkan konsep dan prinsip matematika. Ini menirukan metode
Socratic di mana Socrates dengan pertolongan pertanyaan yang ia tanyakan
dimungkinkan siswa untuk menjawab pertanyaan tersebut.
Dialog
di bawah ini menerangkan contoh strategi untuk membimbing siswa dalam
menyimpulkan bahwa a0= 1. Pertanyaan yang tepat dari seorang guru
akan sangat membantu siswa.
Contoh dialog antara guru
dan siswa adalah sebagai berikut:
Guru
: “Berapakah hasilnya apabila bilangan bukan nol dibagi dengan bilangan itu sendiri?”
Siswa : “Satu”
Guru : “Bagaimanakah
hasilnya kalau am dibagi
am , dengan a bukan
0?”
Siswa : “Satu”
Guru : “Jika kita gunakan
sifat bilangan berpangkat untuk m
m
a
a
, apakah hasilnya?”
Siswa : “Akan didapat am-m
= a0
“
Guru : “Bagus, sekarang apa
yang dapat kita simpulkan untuk a0?”
Siswa : “a0 = 1.”
Interaksi
dalam metode ini menekankan pada adanya interaksi dalam kegiatan belajar
mengajar. Interaksi tersebut dapat juga terjadi antara siswa dengan siswa (S –
S), siswa dengan bahan ajar (S –B), siswa dengan guru (S – G), siswa dengan bahan
ajar dan siswa (S – B – S) dan siswa dengan bahan ajar dan guru (S – B – G).
Interaksi dapat pula dilakukan antara siswa baik dalam kelompok-kelompok kecil
maupun kelompok besar (kelas). Dalam melakukan aktivitas atau penemuan dalam
kelompok- kelompok kecil, siswa berinteraksi satu dengan yang lain. Interaksi
ini dapat berupa saling sharing atau siswa yang lemah bertanya dan
dijelaskan oleh siswa yang lebih pandai. Kondisi semacam ini selain akan
berpengaruh pada penguasaan siswa terhadap materi matematika, juga akan dapat
meningkatkan social skills siswa, sehingga interaksi merupakan aspek
penting dalam pembelajaran matematika. Menurut Burscheid dan Struve (Voigt,
1996:23), belajar konsep-konsep teoritis di sekolah, tidak cukup hanya dengan
memfokuskan pada individu siswa yang akan menemukan konsep-konsep, tetapi perlu
adanya social impuls di sekolah sehingga siswa dapat mengkonstruksikan
konsep-konsep teoritis seperti yang diinginkan. Interaksi dapat terjadi antar
guru dengan siswa tertentu, dengan beberapa siswa, atau serentak dengan semua
siswa dalam kelas. Tujuannya untuk saling mempengaruhi berpikir masing-masing,
guru memancing berpikir siswa yaitu dengan pertanyaan-pertanyaan terfokus
sehingga dapat memungkinkan siswa untuk memahami dan mengkontruksikan
konsep-konsep tertentu, membangun aturan-aturan dan belajar menemukan sesuatu
untuk memecahkan masalah.
Di dalam model penemuan ini,
guru dapat menggunakan strategi penemuan yaitu secara induktif, deduktif atau
keduanya.
1. Strategi Penemuan Induktif
Sebuah argumen induktif meliputi dua
komponen, yang pertama terdiri dari pernyataan/fakta yang mengakui untuk
mendukung kesimpulan dan yang kedua bagian dari argumentasi itu (Cooney dan
Davis, 1975: 143). Kesimpulan dari suatu argumentasi induktif tidak perlu
mengikuti fakta yang Guru Bahan Ajar Siswa B Siswa A mendukungnya. Fakta
mungkin membuat lebih dipercaya, tergantung sifatnya, tetapi itu tidak bisa
membuktikan dalil untuk mendukung. Sebagai contoh, fakta bahwa 3, 5, 7, 11, dan
13 adalah semuanya bilangan prima dan masuk akal secara umum kita buat
kesimpulan bahwa semua bilangan prima adalah ganjil tetapi hal itu sama sekali
“tidak membuktikan“. Guru beresiko di dalam suatu argumentasi induktif bahwa
kejadian semacam itu sering terjadi. Karenanya, suatu kesimpulan yang dicapai
oleh induksi harus berhati-hati karena hal seperti itu nampak layak dan hampir
bisa dipastikan atau mungkin terjadi. Sebuah argumentasi dengan induktif dapat
ditandai sebagai suatu kesimpulan dari yang diuji ke tidak diuji. Bukti yang
diuji terdiri dari kejadian atau contoh pokok.
Perhatikanlah strategi penemuan berikut
ini :
Guru : sekarang kita akan “menguji”
hubungan yang merupakan tantangan
matematika. Untuk memulai, mari kita mengikuti pernyataan
berikut.
4 x
5 = ………. 6 x 7 = ……..
5
x 6 =……….. 5 x 4 =………
6
x 7 = ………. 3 x 8 = ………
8
x 3 = ………. 6 x 5 = ………
Perhatkanlah hasil yang
kalian peroleh.?
Lala : “Bilangan-bilangan
tersebut kurang dari 10.”
Guru : “Eee, bisa…”
Vivi : “Bilangan-bilangan
tersebut termasuk bilangan genap dan bilangan ganjil.”
Guru : “Benar, ada yang
lain.?”
Vivi : “Baik, hasil dari perkalian ini
< 50.”
Guru : “Sangat bagus, bagaimana dengan
yang lain.?”
Anis : “4 x 5 = 5 x 4 = 20
5 x 6 = 6 x 5 = 30
6 x 7
= 7 x 6 = 42
8 x 3
= 3 x 8 = 24”
Guru : “Sangat bagus,yang
lain bagaimana.?”
Aldi : “Adanya sifat
Komutatif.”
Guru
: “Bisa, dari contoh ini Sari menemukan apa.?”
Sari : “Hasil dari
perkalian ini paling sedikit 20.”
Guru : “Bagaiman dengan Dian?”
Dian : “30 termasuk dari
hasil perkalian tersebut.”
Guru : “Bagaimana denagam
Vian.?”
Vian :”Hasil terbesar dai
perkalian ini adalah 42, yaitu pada perkalian 6 x 7 = 7 x 6 = 42
Guru : ”Bagaimana dengan
Dude?”
Dude : “Hasil dari
perkalian ini apabila dijumlahkan = 116.”
Guru : “Kalau Ita.?”
Dude : “Semua hasil dari
perklian tersebut, bukan termasuk bilangan prima.”
Guru : “Bener tidak tu?”
Ida : “Kurang tahu”
Lala ; “ tidak tahu pak…”
Vivi : “Mungkin “
Anis : “ Salah “
Aldi : “ Salah Banget “
Guru
: “Kok jawaban kalian bervariasi banget sih…?, Memangnya kalian belum tahu apa itu
bilangan prima…..?”
Ida dan kawan-kawan : “sudah
lupa pak….”
Guru : “Bilangan prima itu
adalah bilangan yang habis dibagi oleh bilangan
itu sendiri dan angka 1, kecuali angka 1.”
Anis dan kawan-kawan :
“Ooooowwww…”
Guru : “Kalian sudah biasa
menyimpulkan…??”
Anak-anak : “Sudah Pak….”
Ini
statemen yang sangat terkenal yang disebut dugaan Goldbach. Tidak ada
seorangpun yang telah menemukan, meskipun matematikawan tidak mampu membuktikan
itu. Untuk alasan ini kita cenderung percaya bahwa statemen ini benar.
2. Strategi Penemuan Deduktif
Ciri utama matematika adalah
penalaran deduktif, yaitu kebenaran suatu pernyataan diperoleh sebagai akibat
logis kebenaran sebelumnya, sehingga kaitan antar pernyataan dalam matematika bersifat
konsisten. Berarti dengan strategi penemuan deduktif , kepada siswa dijelaskan
konsep dan prinsip materi tertentu untuk mendukung perolehan pengetahuan
matematika yang tidak dikenalnya dan guru cenderung untuk menanyakan suatu
urutan pertanyaan untuk mengarahkan pemikiran siswa ke arah penarikan
kesimpulan yang menjadi tujuan dari pembelajaran. Sebagai contoh dialog berikut
sedang memecahkan masalah sistem persamaan kuadrat dengan penemuan deduktif di
mana guru menggunakan pertanyaan untuk memandu siswa ke arah penarikan
kesimpulan tertentu:
Guru : “Dengan aturan
Cramer untuk memecahkan sistem persamaan ini :
x2 – 2x + 1 = 0
Apa yang kamu peroleh Agus ?”
Agus : “Akar-akarnya real
atau nyata”
Guru : “Benar, dari mana
kamu tahu.?”
Agus : “Cuman nebak aja
pak..”
Guru : “Jawabanmu memang
benar, v, kamu tidak tahu caranya…,
Dapatkah yang lain memberitahuku caranya?”
Budi : “Saya pak.”
Guru : “kamu pakai cara
apa.?”
Budi : “Pemfaktoran..”
Guru : “Nah , ne yang
benar,,, yang lain bagaimana.?
Sudah ketemu belum hasilnya…? (semua siswa terdiam)
Coba kamu Dita…?”
Dita : “Belum bisa pak...”
Guru : “Yang lain
bagaimna.?, Tuti sudah..?”
Tuti : ”Belum juga pak,
masih bingung.”
Guru : ”kalau kamu Andi,
bagaimana..?”
Andi : “Bingung juga pak.”
Guru : “yang lain juga
masih bingung ne…?”
Andi, Dita, Tuti dll : “Ya
pak………”
Guru : “Semuanya perhatikan
ke depan, bapak akan membahasnya
x2 – 2x + 1 = 0
(x –
1) V (x – 1) = 0
x1
= 1 V x2 = 1
jadi x1 dan x2
nya adalah 1.
Ada yang bisa menyimpulkan..?”
Agus : “saya pak”
Guru : “Apa kesimpulanmu….??”
Agus : “Kedua akarnya kembar dan nyata.”
Guru : “Nah, ne baru bener…”
Dari contoh-contoh dialog tersebut
di atas metode ini tepat digunakan apabila : (Martinis Yamin, 2004: 78) :
a. Siswa telah mengenal atau mempunyai pengalaman
yang berhubungan dengan pokok bahasan yang akan diajarkan.
b. Yang akan
diajarkan berupa keterampilan komunikasi antara pribadi, sikap, pemecahan dan
pengambilan keputusan.
c. Guru mempunyai
keterampilan fleksibel, terampil mengajukan pertanyaan, terampil mengulang
pertanyaan dan sabar.
d. Waktu yang tersedia cukup panjang.
Proses induktif-deduktif dapat
digunakan untuk mempelajari konsep matematika. Namun demikian, pembelajaran dan
pemahaman suatu konsep dapat diawali secara induktif melalui peristiwa nyata
atau intuisi. Kegiatan dapat dimulai dengan beberapa contoh atau fakta yang
teramati, membuat daftar, sifat yang muncul (sebagai gejala), memperkirakan
hasil baru yang diharapkan, yang kemudian dibuktikan secara deduktif. Dengan
demikian, cara belajar induktif dan deduktif dapat digunakan dan sama-sama
berperan penting dalam mempelajari matematika. Dengan penjelasan di atas metode
penemuan yang dipandu oleh guru ini kemudian dikembangkan dalam suatu model
pembelajaran yang sering disebut model pembelajaran dengan penemuan terbimbing.
Pembelajaran dengan model ini dapat diselenggarakan secara individu atau kelompok.
Model
Pembelajaran Penemuan Terbimbing ini sangat bermanfaat untuk mata pelajaran
matematika sesuai dengan karakteristik matematika tersebut. Guru membimbing
siswa jika diperlukan dan siswa didorong untuk berpikir sendiri sehingga dapat
menemukan prinsip umum berdasarkan bahan yang disediakan oleh guru dan sampai
seberapa jauh siswa dibimbing tergantung pada kemampuannya dan materi yang
sedang dipelajari. Dengan model penemuan terbimbing ini siswa dihadapkan kepada
situasi dimana siswa bebas menyelidiki dan menarik kesimpulan. Terkaan, intuisi
dan mencoba-coba (trial and error) hendaknya dianjurkan dan guru sebagai
penunjuk jalan dan membantu siswa agar mempergunakan ide, konsep dan
ketrampilan yang sudah mereka pelajari untuk menemukan pengetahuan yang baru.
Dalam model pembelajaran dengan
penemuan terbimbing, peran siswa cukup besar karena pembelajaran tidak lagi
terpusat pada guru tetapi pada siswa. Guru memulai kegiatan belajar mengajar
dengan menjelaskan kegiatan yang akan dilakukan siswa dan mengorganisir kelas
untuk kegiatan seperti pemecahan masalah, investigasi atau aktivitas lainnya.
Pemecahan masalah merupakan suatu tahap yang penting dan menentukan. Ini dapat
dilakukan secara individu maupun kelompok. Dengan membiasakan siswa dalam
kegiatan pemecahan masalah dapat diharapkan akan meningkatkan kemampuan siswa
dalam mengerjakan soal matematika, karena siswa dilibatkan dalam berpikir
matematika pada saat manipulasi, eksperimen, dan menyelesaikan masalah.
B. Fungsi
dari Model Pembelajaran penemuan Terbimbing (Disco-very Learning)
Adapun fungsi dari model pembelajaran penemuan terbimbing
(Discovery Learning), yaitu sebagai berikut :
1. Membangun komitmen (commitmen
bulding) di kallangan peserta didik untuk belajar, yang diwujudkan dengan keterlibatan,
kesungguhan, dan loyalitas terhadap mencari dan menemukan sesuatu dalam proses
pembelajaran.
2. Membangun sikap
aktif, kreatif, dan inovatif dalam proses pembelajaran dalam rangka mencapai
tujuan pengajaran.
3. Membangun sikap
percaya diri (self confidence) dan
terbuka (openness) terhadap hasil
temuanya.
C Langkah–langkah dalam Model Penemuan
Terbimbing
Agar
pelaksanaan model penemuan terbimbing ini berjalan dengan efektif, ada beberapa
langkah yang perlu ditempuh oleh guru matematika adalah sebagai berikut.
a. Merumuskan masalah yang akan diberikan kepada
siswa dengan data secukupnya, perumusannya harus
jelas, hindari pernyataan yang menimbulkan
salah tafsir sehingga arah yang ditempuh siswa tidak salah.
b. Dari data yang
diberikan guru, siswa menyusun, memproses, mengorganisir, dan menganalisis data
tersebut. Dalam hal ini, bimbingan guru dapat diberikan sejauh yang diperlukan oleh
siswa saja. Bimbingan ini sebaiknya mengarahkan siswa untuk melangkah ke arah
yang hendak dituju, melalui pertanyaan-pertanyaan, atau LKS.
c.
Siswa menyusun konjektur (prakiraan) dari hasil analisis yang dilakukannya.
d. Bila dipandang perlu, konjektur yang telah
dibuat siswa tersebut diatas diperiksa
oleh guru. Hal ini penting dilakukan untuk meyakinkan kebenaran prakiraan siswa, sehingga akan menuju arah yang
hendak dicapai.
e.
Apabila telah diperoleh kepastian tentang kebenaran konjektur tersebut, maka verbalisasi konjektur sebaiknya
diserahkan juga kepada siswa untuk menyusunya.
Di samping itu perlu diingat pula bahwa induksi tidak menjamin 100% kebenaran konjektur.
f.
Sesudah siswa menemukan apa yang
dicari, hendaknya guru menyediakan
soal latihan atau soal tambahan untuk memeriksa apakah hasil penemuan itu benar.
D. Kelunggulan dan Kelemahan Model Penemuan Terbimbing
Tentunya setiap Model pembelajaran mempunyai kelebihan dan
kekuranan, begitu pula dengan pembelajaran penemuan terbimbing, Adapun
kelebihan dari model penemuan terbimbing adalah sebagai berikut
1. Keunggulan Model Penemuan Terbimbing
a. Membantu peserta didik untuk mengembangkan,
kesiapan, serta pengasaan keterampilan dalam proses kognitif:
b. Peserta didik memperolah pengetahuan secara
individual sehingga dapat dimengerti dan mengndap dan sulit dihilangkan dalam
benaknya.
c. Dapat membangkitkan motivasi dan gairah belajar
peserta ddik untuk belajar lebih giat lagi.
d. Memberikan
peluang untuk berkembang dan maju sesuai dengan kemmpuan, bakat dan minat
masing-masing peserta didik.
e. Memperkuat dan menambah kepercayaan pada diri sendiri
dengan proses menemukan sendiri karena pembelajaran berpusat pada peserta didik
dengan keterlibatan guru yang sangat terbatas.
2. Kelemahan Model Penemuan Terbimbing
a. siswa harus memiliki kesiapan dan kematangan
mental, siswa harus berani dan berkeinginan yang kuat untuk mengetahui keadaan
sekitarnya dengan baik.
b. Keadan
kelas yang gemuk jumlah siswanya menyebabkan model ini akan sulit mencapai
hasil yang maksimal.
c. guru dan siswa
yang sudah sangat terbiasa dengan PBM gaya lama maka model ini akan
mengecewakan.
DAFTAR PUSTAKA
v
Hanafiah, Nanang. dkk.
2010. Konsep Strategi Pembelajaran. Bandung
: rafika Aditama.
v
N.K, Roestiyah. 2008. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta :
Rineka Cipta.
v
Suherman, erman. 2003.
Strategi Pembelajaran matematika
Kontemporer. Bandung : jica-imstej Project.
Posting Komentar